Persembahkan Hidup untuk Perjoangan Rakyat
Saya pernah berpidato, pernah mengatakan, apa yang membuat manusia itu berharga?
Apa ia punya kedudukan? Tidak sama sekali tidak! Kedudukan, tidak.
Huuh, malahan pada waktu saya masih kecil “ngelesot” di kotaknya Ki Dalang,
wah, saya perhatikan benar apa yang menjadi perdebatan antara Arjuna dan Karna.
Arjuna itu pernah, berhadap-hadapan dengan Karna, sebab dia menghina kepada Karna.
Aku orang bangsawan, aku anak raja, aku tidak mau berjuang dengan engkau turunan orang kecil, turunan orang rendah.
Karna berkata, he, yang menjadi ukuran besar atau kecilnja manusia,
ukuran tinggi atau rendahnya manusia, bukan ia punya keturunan, sama sekali tidak.
Yang menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat manusia ialah budi pekerti yang bersemayam
didalam dada manusia itu.
Demikian pula, demikian pula, Saudara-saudara, dengan pekerjaan,
jangan kira cuma pekerjaan yang tinggi-tinggi di atas kursi yang mentul-mentul,
duduk di dalam auto Impala, Saudara-saudara, bahwa itulah kedudukan yang baik, sama-sekali tidak. Aku pernah berkata, ada orang kaya raya, auto Impala, auto Mercedes, gedungnya tiga, empat, lima tingkat, tempat tidurnya kasurnya tujuh lapis mentul-mentul, Saudara-saudara. Tiap-tiap hari makan empat, lima, enam, tujuh kali. Ya, seluruh rumahnya itu laksana ditabur dengan ratna mutu manikam, kakinya tidak pernah menginjak ubin, yang diinjak selalu permadani yang tebal dan indah. Tapi orang yang demikian itu, pengkhianat. Tapi orang yang demikian itu menjadi kaya oleh karena korupsi. Orang yang demikian itu di wajah-Nya Tuhan Yang Maha Esa, adalah orang yang rendah. Di wajah Tuhan Yang Maha Esa dia adalah orang yang rendah!
Sebaliknya, kataku dalam pidato itu, ambil seorang penjapu jalan. Penjapu jalan di sana, di Jalan Thamrin atau Jalan Sudirman atau jalan-jalan lain, nyapu jalan, Saudara-saudara. Pada waktu kita enak-enak tidur waktu malam, dia menyapu jalan, tangannya menjadi kotor oleh karena dia menyapu segala ciri-ciri dan kotor-kotor dari jalan itu, tetapi Saudara-saudara, dia mendapat nafkah dari kerjanya itu dengan jalan yang halal dan baik. Dia dengan uang jang sedikit yang dia dapat dari Kotapraja, Pak Gubernur Sumarno, Saudara-saudara, ya mendapat gaji daripada Kotapraja uang jang sedikit, dia belikan beras, dan dia tanak itu beras, dan dia makan itu nasi dengan istri dan anak-anaknya, bukan diatas kursi yang mentul-mentul, bukan di atas permadani jang tebal, bukan dari piring yang terbuat daripada emas, tidak dengan sendok dan garpu, dia makan makanan yang amat sederhana sekali, dan dia mengucapkan syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT: “Ya Allah ya Rabbi, terima kasih, bahwa Engkau telah memberiku cukup makan bagiku, bagi istriku, bagi anak-anakku. ya Allah ya Rabbi, aku terima kasih kepada Mu”. Orang jang demikian ini, menyapu jalan, dia adalah orang mulia dihadapan Allah SWT.
Ir. Soekarno, Kongres Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI) di Istana Negara, Jakarta, 12 Mei 1964
Saya pernah berpidato, pernah mengatakan, apa yang membuat manusia itu berharga?
Apa ia punya kedudukan? Tidak sama sekali tidak! Kedudukan, tidak.
Huuh, malahan pada waktu saya masih kecil “ngelesot” di kotaknya Ki Dalang,
wah, saya perhatikan benar apa yang menjadi perdebatan antara Arjuna dan Karna.
Arjuna itu pernah, berhadap-hadapan dengan Karna, sebab dia menghina kepada Karna.
Aku orang bangsawan, aku anak raja, aku tidak mau berjuang dengan engkau turunan orang kecil, turunan orang rendah.
Karna berkata, he, yang menjadi ukuran besar atau kecilnja manusia,
ukuran tinggi atau rendahnya manusia, bukan ia punya keturunan, sama sekali tidak.
Yang menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat manusia ialah budi pekerti yang bersemayam
didalam dada manusia itu.
Demikian pula, demikian pula, Saudara-saudara, dengan pekerjaan,
jangan kira cuma pekerjaan yang tinggi-tinggi di atas kursi yang mentul-mentul,
duduk di dalam auto Impala, Saudara-saudara, bahwa itulah kedudukan yang baik, sama-sekali tidak. Aku pernah berkata, ada orang kaya raya, auto Impala, auto Mercedes, gedungnya tiga, empat, lima tingkat, tempat tidurnya kasurnya tujuh lapis mentul-mentul, Saudara-saudara. Tiap-tiap hari makan empat, lima, enam, tujuh kali. Ya, seluruh rumahnya itu laksana ditabur dengan ratna mutu manikam, kakinya tidak pernah menginjak ubin, yang diinjak selalu permadani yang tebal dan indah. Tapi orang yang demikian itu, pengkhianat. Tapi orang yang demikian itu menjadi kaya oleh karena korupsi. Orang yang demikian itu di wajah-Nya Tuhan Yang Maha Esa, adalah orang yang rendah. Di wajah Tuhan Yang Maha Esa dia adalah orang yang rendah!
Sebaliknya, kataku dalam pidato itu, ambil seorang penjapu jalan. Penjapu jalan di sana, di Jalan Thamrin atau Jalan Sudirman atau jalan-jalan lain, nyapu jalan, Saudara-saudara. Pada waktu kita enak-enak tidur waktu malam, dia menyapu jalan, tangannya menjadi kotor oleh karena dia menyapu segala ciri-ciri dan kotor-kotor dari jalan itu, tetapi Saudara-saudara, dia mendapat nafkah dari kerjanya itu dengan jalan yang halal dan baik. Dia dengan uang jang sedikit yang dia dapat dari Kotapraja, Pak Gubernur Sumarno, Saudara-saudara, ya mendapat gaji daripada Kotapraja uang jang sedikit, dia belikan beras, dan dia tanak itu beras, dan dia makan itu nasi dengan istri dan anak-anaknya, bukan diatas kursi yang mentul-mentul, bukan di atas permadani jang tebal, bukan dari piring yang terbuat daripada emas, tidak dengan sendok dan garpu, dia makan makanan yang amat sederhana sekali, dan dia mengucapkan syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT: “Ya Allah ya Rabbi, terima kasih, bahwa Engkau telah memberiku cukup makan bagiku, bagi istriku, bagi anak-anakku. ya Allah ya Rabbi, aku terima kasih kepada Mu”. Orang jang demikian ini, menyapu jalan, dia adalah orang mulia dihadapan Allah SWT.
Ir. Soekarno, Kongres Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI) di Istana Negara, Jakarta, 12 Mei 1964
0 komentar